22.12.06

uneg-uneg

hm, akhirnya saya berada di fase ini [lagi]. klo kata sahabat saya, yah ini. yang bikin saya heran dengan fase ini, kenapa sudah berbulan-bulan secara berturut-turut, setiap saya mengalami ini, yang saya rasakan adalah kesepian dan takut kehilangan. ugh. itu sangat tidak baik untuk kesehatan jiwa. klo si gita memiliki versi sendirinya dalam fase ini. begitu juga dengan jeng rannya. maka saya pun kurang lebih mempunyai versi tersendiri. saya meradang. menangis meraung-raung. memasang tampang di wajah saya yang tiga centi lagi bisa menyentuh tanah, saking berat dan tertekuknya. menjuteki orang, siapa saja, yang kebetulan lagi berpapasan dengan saya untuk urusan pekerjaan di kantor ataupun di rumah. tidak fokus. yang saya lakukan adalah menikmati perasaan sedih yang menggunung dan ketakutan yang membunuh. yang kemudian diikuti dengan sms massal ke sahabat-sahabat saya tercinta. yang klo ditanggapi yah sukur. tidak ditanggapi yah gpp. karena setelah ditanggapi pun saya yang berbalik tidak menanggapi. see? aneh. saya hanya pengen mengetahui dan membuat peng-klaim-an bahwa saya tidak se-lonesome itu. buktinya sahabat-sahabat saya masih menanggapi pesan singkat yang bergaya suicide yang udah beberapa bulan belakangan ini sering saya kirimkan ke mereka. *sigh* (waving to them, hi cintz, hi hunz, mitz, mwahmwah, miss you all, a lot! ^_^)

ok deh. skarang saya sedang merasa seperti itu lagi. padahal dulu saya sempat berpikir bahwa saya adalah tipe orang yang bisa mengkontrol perasaan saya. apalagi klo berkaitan dengan hormon-hormon itu. hmm. ternyata pikiran saya salah besar. saya sangat mudah terpengaruh dengan itu semua. lumayan kan. setiap bulan pasti merasa seperti ini. di ujung akhir penghabisan hitungan tahun ini, saya begitu menginginkan banyak hal seperti berkumpul dengan keluarga, dia, dan sahabat. yang saya ketahui dengan jelas pula, tidak akan terwujud semuanya. makanya kejelasan atas tahu-nya saya ini seperti mendongkrak perasaan kesepian dan takut kehilangan yang sangat sudah mendarah-daging ini, sudah berkerak di otak saya, dan menjadi karat dalam hati.

arggghh! entahlah. saya jadi migrain klo harus terus memikirkan hal ini.

[masih] rasa khawatir (?)

kamu, klo saya mengatakan tidak usah pergi. apakah kamu akan tetap pergi? rasa saya sudah dengan telak mengalahkan logika yang hanya seiprit ini. skor satu kosong untuk pertempuran sekarang. entah ini khawatir. entah ini firasat. saya benar-benar tidak bisa memaksa kepala mengangguk dan membiarkan kamu pergi. dengan alasan apapun.

apakah kamu akan tetap pergi?

21.12.06

signs

percaya akan pertanda? ato mungkin firasat? signs? ato apa saja lah istilahnya. klo saya? hm, cenderung mengabaikan dengan sedikit memikirkan. maksudnya? begini, saya khawatir klo itu hanya bentuk kekhawatiran saya saja. karena saya khawatir, maka saya jadi berpikir. dengan kata lain, agak sedikit susah membedakan apakah itu suatu pertanda atau kekhawatiran, begitu.. ^_^

seperti ketika saya tiba-tiba tidak nyaman saat mengerjakan pekerjaan saya tadi pagi, kemudian pikiran saya hanya tertuju pada kamu. merasa sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada kamu. dengan sukses saya mengabaikannya, dan kemudian menganggapnya bahwa itu adalah kekhawatiran berlebih saya pada kamu. as ussual. dilengkapi dengan penghiburan kepada diri sendiri "ah, itu hanya perasaan saya saja", ditambah dengan kalimat lain "ah, mungkin lagi sibuk" ketika saya mencoba menghubungi tapi alat komunikasinya tidak bisa menyambungkan suara. maka perasaan seperti itu berlalu begitu saja, meski masih dengan ketidaknyamanan yang dipaksakan untuk nyaman. dan ketidaktenangan yang diatur untuk setenang mungkin. saya lebih memilih berpikiran bahwa kamu tidak apa-apa dan dalam keadaan baik-baik saja, daripada saya kalap atas kekhawatiran saya sendiri dan mengacaukan semuanya.

hal-hal kecil yang terabaikan. yang tidak menjadi perhatian. sepertinya sudah menjadi protoype manusia kebanyakan, lebih suka memperhatikan hal-hal besar daripada hal-hal yang hanya seupil dan numpang lewat gituh. atau mungkin bukan terabaikan, tapi tepatnya dengan sengaja mengabaikan? mengacuhkan? seperti yang sudah sering saya lakukan. memilih mengabaikan dan mengacuhkan, karena saya tau saya memiliki bakat yang sangat besar untuk merusak keadaan.

GOD [do] works in a mysterious way..

pusat semesta

apakah pusat semesta itu berada di dalam perut bumi? ataukah berada di langit yang bertingkat-tingkat itu? ataukah kita sendiri adalah pusat semesta itu?

saat setiap rasa. setiap kejadian dari suatu peristiwa memiliki nama, yang diurut-urutkan dengan ejaan huruf yang membuahkan kata, terkadang kalimat, tak menutup kemungkinan paragraf, yang berujung pada pengelompokan kemudian pemaknaan. kembali lagi pada kata-kata.

apa mungkin lautan aksara, kosakata beserta tanda bacanya adalah pusat semesta?

rindu

aku tak punya banyak kata
jangan jengah kala ku diam

aku hanya punya segudang rindu

rindu itu..
rasa atau kata kah?

8.12.06

tidak biasa

seberapa sering saya melakukan hal-hal yang saya klaim sebagai sesuatu yang bukan saya banged? sepertinya tidak sering cenderung jarang. klo tidak mau mengatakannya sebagai suatu ke-tidakpernah-an tentunya. alasannya, apalagi klo bukan kalimat-kalimat bernada ngeles berbunyi usang yang begini : ah, itu bukan kebiasaan saya. saya itu yah seperti ini. ya beginilah. ya begitulah.

hm, apa saya sebegitu antinya terhadap merubah kebiasaan? padahal saya tau betul, kebiasaan itu awalnya dari suatu ketidakbiasaan juga. kalo kalimat kerennya : selau ada awal untuk setiap permulaan. apakah ke-keras-kepala-an saya sebegitu tidak bisa diganggu gugat? yep, tentu saja saya seperti ini : klo menemukan yang tidak klik dengan saya, maka sebisa mungkin saya akan meminimalisasi kontak agar subjektivitas saya tidak mempengaruhi lingkungan sekitar. bukan berarti saya menolak hal-hal baru. saya cenderung memilah-milah apakah perubahan itu cocok dengan saya atau tidak. klo sampe saya harus memaksakan diri terlalu banyak untuk suatu perubahan, itu kan hanya membuat semuanya kelihatan aneh. wah, saya ngomong apa siyh? lagian tidak ada dan belum pernah ada yang memaksa saya untuk melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan saya.

sejatinya, ketidakbiasaan bisa menjadi suatu kebiasaan saat saya mau berkompromi. hmm... kompromi pun teteup saja diturut-turutkan dengan pertimbangan. arghhh! sepertinya saya masih perlu banyak-banyak melatih diri untuk bertindak secara spontan, yang pada kenyataannya bukan kebiasaan saya. bicara tentang spontan, tindakan spontan saya yang terakhir? hm, membeli majalah chic edisi tahunan [pertama kali dalam sejarah, saya membeli majalah, setelah saya berhenti membaca Aneka Yess!, Kawanku, dan Gadis] karena di edisi itu ada hal-hal yang saya sukai *tuink* : bonus agenda tahun 2007, guide for backpacker [hmm...], dan cerpen dari salah satu pengarang indonesia favorit saya : dewie sekar.

see.. saya tidak se-keras-kepala itu kan?
met berakhir pekan semuanya! ^-^

banyak tentang

adillah sejak dari pikiran
-pramoedya ananta toer-



dapat quote ini, dari bapak ini. dalam suatu kesempatan ngobrol bersama via email. katanya didapat dari tetralogi Pulau Buru yang terdiri atas : Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca [ditulis secara berurutan dari buku pertama hingga ke empat]. katanya *lagi* begitu banyak quote bagus di buku-buku ini. salah satunya yah quote di atas ntuhw, yang katanya *lagi, lagi* hasil perkataan dari seorang tokoh rekaan Pak Pram dalam buku-bukunya itu yang bernama Jean Marais. okeyh, i'm not going to talk bout the books eniwei *wink*

"adillah sejak dari pikiran"

betapa susahnya itu. kita semua tau, hal tersulit untuk dilakukan adalah saat kita diminta untuk bertindak dan berlaku adil. yap, mengaplikasikan yang mana daripada suatu keadilan. saya tau, adil bukan berarti saya dapat lima puluh persen, dan orang lain pun mendapatkan lima puluh persen yang sama dengan yang saya dapatkan. adil bisa saja tujuh puluh persen untuk saya, dua puluh persen untuk kamu, sepuluh persen untuk kamu yang lainnya. apalagi klo sudah diiming-imingi dengan jabatan dan kedudukan. apalagi klo sudah ditambah-tambah dengan lamanya waktu terhadap objek keadilan tersebut. apalagi klo dilanjutkan dengan banyaknya tanggungan (red : anak) dari istri pertama (lho?) skip it. yang jelas, pastinya bakalan lebih banyak lagi pertimbangan untuk menentukan adil tidaknya suatu objek.

memformat keadilan dalam pikiran kita. tentu saja itu bukan hal yang main-main. belum saja mulai menginstallnya dalam pikiran, kita pasti sudah memikirkan baik buruknya. selayaknya kita, makhluk ciptaan yang diberikan 'anugerah' berupa cipta, rasa dan karsa, maka kecenderungan kita memutuskan sesuatu sudah pasti melalui proses pertimbangan ini itu, anu inu, begini begitu begono, yadda yadda, bla bla bla, endeskey, endeskoy, ecetera. dilanjutkan dengan pengukuran kadar kesukaan dan ketidaksukaan kita terhadap sesuatu itu. ada yang salah dengan itu semua? tentu saja tidak ada yang salah, dalih manusiawi adalah konspirasi konvensional terbesar yang paling disepakati seluruh manusia tanpa ba-bi-bu-be-bo!!

klo saya membuat kesimpulan seperti ini, kira-kira bagaimana yah? :

terimalah kenyataan bahwa kita, manusia, sebenarnya hanya memiliki kecenderungan untuk bersikap, bertindak dan berlaku adil. kita tidak pernah benar-benar bisa seratus persen adil. tidak pada diri kita, maupun diri orang lain. adil itu sudah mutlak milikNya, lengkap dengan ketidakadilannya. tapi kita memiliki kemutlakan yang sama dengan Dia, saat kita memilih untuk merasa memperlakukan atau diperlakukan secara adil.



hmm.. ya sudahlah dan ya entahlah. seperti kata salah satu teman saya di jaringan intranet kantor : "walahh.. lha wong hidup itu memang gitu kok... semuanya paradoks"

jadi ingad 'temuan' saya dalam renungan situs intranet kantor dua tahun yang lalu..


kita berbicara terlalu banyak, sedikit cinta dan terlalu saling membenci
kita telah belajar bagaimana caranya hidup, tapi tidak hidup
kita telah melewati umur untuk hidup, bukannya hidup melewati umur
kita telah melakukan sesuatu yang besar, tapi tidak yang lebih baik
kita telah membersihkan udara, tapi tetap membuat polusi pada jiwa
kita telah memisahkan atom, tapi tidak memisahkan prasangka
kita menulis lebih banyak, tapi belajar lebih sedikit
kita banyak merencanakan, tapi sedikit menyelesaikan
kita telah belajar dari kesibukan, tapi tidak belajar untuk menunggu
kita teralu sulit bersikap adil, berpikir keras untuk memecahkan satu hal, tapi melupakan hal yang lain..

4.12.06

episodes

[kemarin]
disini sudah cukup sepi dan berasa bangs*t. jangan ditambah lagi dengan ketidakpedulianmu atas peduliku. apalagi pedulimu yang seperti tak ada untuk sesuatu yang sama-sama kita tau. karena itu membawa aku pada satu kesimpulan tentang meaningLESS dan INvisible. tak apalah klo semalam aku menjadi orang yang iRASIONAL dan EGOIS

[hari ini]
capek. dan sedikit oleng. seperti orang mabuk. bergelas-gelas aku lesapi cawan yang berlabel air mata. aku mabuk air mata. herannya tak berubah menjadi mutiara. masih sedikit limbung tapi aku tau aku bisa melalui ini. pegangan yang sedikit terlepas, akan erat lagi nantinya. bersabarlah...

[besok]
aku ingin tersenyum. tepat saat matahari melepaskan jejaringnya di pucuk pohon depan rumahku. bersamaan dengan embun yang akan membasahi tanah. membuang penat dan lelah yang membuatku bergelayut kelabu. aku ingin tersenyum. doakan aku kawan...

3.12.06

ingin [tak] peduli

ingin marah. lebih baik daripada saya mengatakan tidak apa-apa. padahal jelas ada apa-apanya. marah yang tak terucap hanya meretaskan bulir-bulir air mata. dan itu lebih membuat hati nelangsa. ingin sekali untuk tak peduli. pada dia. pada kamu. pada mereka. pada semuanya. terutama kamu. melangkahkan kaki ke arah pusat angin. dan berteriak sekencang-kencangnya tentang keinginan untuk tak peduli. semoga angin membawanya ke tempat mu, bergemuruh dengan marahnya saya.

ingin tak peduli. tentang ketidaknyamanan yang saya rasakan yang tak bisa saya ungkapkan sepenuhnya. hanya membuahkan lelah dan penat. tanpa membawa solusi. saya capek dengan sepi. saya muak dengan sendiri. nyatanya saya hanya diminta untuk bersabar. ingin keluar dari tempat ini. berlari. meregang bayangan dengan nyata. hingga titik yang bisa dilihat, tak lagi koma, pun tanda tanya.

lelah. entah seluas apa semesta meminta diri untuk turut menampung. saya hanya ingin tak peduli. sedetik saja. tak perlu berdetik-detik. apalagi menyentuh menit. bahkan menuju hitungan jam. hanya sedetik.

tapi saya terlalu peduli.
pada dia. pada kamu. pada mereka. pada semuanya.
terutama kamu!

1.12.06

titik titik

titik titik, bukan titik, dan belum juga koma
hanya sekedar jedah
untuk menemukan sekantong oksigen

titik titik
blank!
[lagi]
disorientasi
[lagi]
baik waktu ataupun tujuan

titik titik
blank!
[lagi]
tiada ada yang tergenggam
[lagi]
padahal ini sudah awal di penghujung akhir

titik titik
mengeluh tetap menjadi nama tengah
sekantong oksigen ternyata tak cukup jua
dan aku masih saja berleha-leha menghela napas
 

loveblue © 2008. Chaotic Soul :: Converted by Randomness