nonton film ini, jadi inged ituh, dua orang yang pernah dengan menggebugebunya mengajarkan pada saya tentang banyak hal. dalam suatu kesempatan, dua orang ini bisa berkata sama meski pada waktu yang berbedabeda. perkataan yang persis sama seperti kata Maleo nya Denias di salah satu scene film ini.
va, belajar itu bisa kapan saja dan di mana saja.
berasa dejavu deh pas nonton denias trus denger dialog yang senada seperti itu, hehehehehe. hmm, dua orang yang dalam penilaian saya adalah hebat dan nyentrik. hebat untuk segala pemikirannya dan segala konsistensinya dalam memperjuangkan apa yang diyakini. nyentrik, karena yakinlah, mereka itu memang nyentrik sangat, suatu saat bisa membuat orang terkagumkagum dengan segala tutur katanya, dan disuatu saat lainnya membuat orang ingin lari saja dan berpurapura tak mengenal mereka saking nyentriknya *tuink* bukan, bukan masalah dandanannya ato tampilannya, tapi manuver yang diperbuat kadangkadang sangat ingin membuat malu. malu karena saya blom punya dan sepertinya memang tak akan pernah punya stok keberanian sebesar dan sebanyak itu :D jadi, bisa dimengerti nyentrik yang saya maksudkan disini? *wink*
dua lelaki, yang bertemu saya karena kakak saya adalah teman mereka. yah, menyambung talitemali dengan cara seperti itu bukan masalah kan? :P dua lelaki, yang jauhjauh dari tempat asalnya untuk sekolah. jauh dalam artian beda pulau, dan perjalanannya mesti ditempuh dengan biaya tidak murah. jauh dari sanak saudara. pokoknya jauh dalam artian apa saja. sekolah, yang dalam setiap kelakar mereka berdua adalah hasil dari kesalahan teknis dalam memilih prioritas saat mengikuti tes UMPTN. yang mana di buku petunjuknya tercantum IKIP Manado [sekarang Universitas Negeri Manado] yang ternyata eh ternyata berlokasi di Tondano, Minahasa, sekitar satu jam perjalanan darat dari manado nya sendiri. dan sudah begitu, jarak antar fakultas pun sangat sangat berjauhan. untuk bisa ke fakultas lainnya, harus ber-angkot ria. klo kepepet, yang biasanya terjadi mulai tengah bulan sampai akhir bulan, maka berjalankakilah dan bermandikanlah peluhpeluh itu di seluruh badan.
dua lelaki, yang satunya jawa tulen yang besar di papua. dan satunya lagi, batak tulen yang besarnya di jakarta. yang orang jawa malah garis wajahnya keras bak orang batak. trus yang orang batak, malah manismanis gituh, kesan pertama pas ketemu, saya malah mengira bahwa dirinya itu adalah orang jawa *tuink* uhm, get my point? biasanya kan garis wajah orang batak khas banged, begitu pula orang jawa, dan yang jelas bedanya nyata. dua lelaki, yang berlokasi di manado sejak tahun 1994 sampe tahun 2004. entah karena saking cintanya dengan kota manado dan kampus yang ternyata berlokasi di minahasa itu, atau karena birokrasi kampus cukup membelit sampai melilit sehingga harus tertahan selama itu. dua lelaki, yang klo udah disuguhi kopi, bisa berlarutlarut dengan malam sampai semburat pagi menyapa dan menghasilkan berbatangbatang puntung rokok di asbak ruang tamu rumah, hanya dengan mengobrol kesana kemari, dan tak jarang bahkan memperdebatkan apa yang tertulis di bukubuku cetakan favorit mereka. dua lelaki, yang meminjamkan kepada saya begitu banyak buku untuk kemudian saya konsumsi secara kesetanan, dan saya terus saja ketagihan. dua lelaki, yang meski begitu, tak malu berbagi saat melankolis mereka diselasela dentingan gitar sesudah senja berlabuh. dua lelaki, yang akhirnya mencapai satu titik sepakat yang sama :
belajar itu, memang bisa dimana saja dan kapan saja. tapi sekolah merupakan legitimasi untuk keabsahannya. itu yang terpatri di otak masyarakat. semoga suatu saat, kita pelanpelan bisa merubah pemahaman seperti itu. supaya pendidikan bukan hanya untuk orang berduit saja.
iyah, dua lelaki itu bercitacita bisa mendirikan sebuah sekolah tanpa birokrasi dan tetek bengeknya. yang setau saya tak akan mudah. but, who knows? we'll never know. uhm, dan sekarang mereka memang mungkin sedang mulai membuka jalan untuk bisa seperti itu. lelaki jawa berwajah batak, kembali ke tempat dia dibesarkan, manokwari, papua, dan bekerja sebagai dosen di sana, sudah berkeluarga, dengan istrinya yang juga seorang guru. lelaki batak yang manis, lebih memilih bertualang ke arah timur daripada kembali ke barat, dan tempat pilihannya jatuh pada sorong, papua, menjadi guru di salah satu sekolah di daerah transmigrasi.
ah, betapa merindunya saya pada mereka.
asanya terselip diantara gunung gemunung
tertumbuk bebatuan
dihempas lelautan
ilalang ilalang tetap gamang berlenggang dengan tariannya
bukan, gamang ini bukan pemutus mimpi
bisik sepoi mengisyaratkan ada
untuk dikecap. bukan sekedar dilihat pun didengar
karena ini bukan tentang hikayat yang diawali dengan kata 'seandainya'
dedicated for, k' heru dan k' mawardi
dan untuk segala sesuatu yang disebut 'cita-cita'
0 komentar:
Post a Comment